Foto Jaman
Doeloe Keluarga KH. M. Romly Tamim
Duduk dari
kanan-kiri
1- KH. M. Damanhuri Romly 2- KH. A. Dimyathi Romly 3- KH. A. Rifai Romly
Berdiri dari
kanan-kiri
1- KH. Shonhaji Romly. 2- KH. Baiduri Luqman (Adik Bu Nyai Khodijah Romly). 3- KH. M. Mustain Romly.
Semoga rahmat
dan maghfiroh Allah senantiasa tercurah kepada mereka. Amin.
Lahumul
Faatihah...
Oleh: Ning Soraya
Dimyathi
Dimyathi Romly
dilahirkan di Rejoso, Peterongan Jombang pada tanggal 3 Mei 1944. Kedua orang
tuanya bernama KH. Romly bin Tamim (1888–1858) dari Pondok Pesantren Darul Ulum
Rejoso Peterongan dan Nyai Hj. Khadijah binti Lukman (1920–1993) dari Suwaru
Mojoagung Jombang. Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang semuanya
laki-laki. Ayahnya adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah yang
berpusat di Rejoso, dan kakeknya, Kiai Tamim Irsyad, adalah pendiri Pondok
Pesantren Darul Ulum bersama menantunya KH. Cholil Juremi di tahun 1885.
Masa kecilnya
berada dalam keadaan yang cukup memperihatinkan. Beliau terlahir pada masa
penjajahan Jepang. Masa kanak-kanaknya dilewati ketika terjadinya agresi
militer I dan II oleh Belanda. Itulah masa-masa darurat dan kegentingan yang
tak berkesudahan. Bahkan, kakaknya beda ibu, yakni Gus Ishom (kakak KH.
Musta’in Romly) meninggal dalam pertempuran melawan Belanda saat agresi militer
ini.
Dimyathi kecil
pernah berada dalam kondisi fisik yang sangat kritis, sampai-sampai disangka
tidak akan berumur panjang. Karena pada saat itu terjadi wabah penyakit campak
dan cacar yang mematikan. Banyak di antara teman seumurannya yang meninggal.
Alhamdulillah, Allah berkenan menyelamatkan hidupnya yang sembuh dan sehat
kembali, meskipun menyisakan bekas lubang-lubang cacar di wajahnya.
Ketika muda banyak
yang mengenalnya sebagai anak yang suka usil, ada beberapa cerita keisengannya
terhadap saudara-saudaranya, teman-temannya dan kepada orang tuanya. Karena hal
itulah kadang kala membuat Buya Romly kesal dan marah. Bahkan beliau sering
kali diludahi oleh Buyanya, tetapi dari situlah beliau menjadi anak yang paling
sering didoakan orang tuanya. Apabila ada hal-hal aneh atau kekacauan di
rumahnya, Buyanya sudah paham, bahwa ini pasti kelakuan anak ketiganya, “Siapa
lagi kalau bukan Dim!” seperti itu batinnya.
Saat usianya
menginjak remaja, keisengannya bukannya berkurang, tapi malah menjadi-jadi.
Beliau seakan-akan menjadi biangnya anak-anak usil. Dimyathi muda yang punya
solidaritas tinggi sering kali mengajak teman-temannya liwetan (menanak nasi
dengan ikan asin) atau rujakan bersama. Selain itu, Dimyathi paling suka main
bola. Beliau pernah membina anak-anak main bola dan membentuk tim bola dengan
nama Tim Tuyul. Timnya sering menang di berbagai pertandingan, dan saingan
terberat adalah Tim Putra Mataram, tim bolanya KH. Hanan Ma’shoem, sepupunya.
Sampai KH. Hanan pernah bilang, “Pokoknya kalau sampai bisa mengalahkan Tuyul,
berarti bakal menangan.”
Dimyathi Romly
tumbuh dalam pengasuhan dan bimbingan langsung kedua orang tuanya dan
paman-pamannya di Darul Ulum. Memulai belajar di sifir awwal, sifir tsaani, dan
sifir tsaalis, semacam pendidikan pra-sekolah yang belajarnya di masjid.
Kemudian bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah Rejoso selama enam tahun dan
Madrasah Tsanawiyah Rejoso selama tiga tahun. Pada saat sekolah Madrasah
Tsanawiyah inilah, beliau kehilangan buyanya, KH. Romly meninggal dunia pada
tahun 1958 dalam usia 72 tahun. Selanjutnya Dimyathi bersekolah di Madrasah
Aliyah Rejoso atau saat itu disebut Perguruan Muallimin Atas, dan lulus pada
tahun 1962 di usia 18 tahun. Selain sekolah formal tersebut, Dimyathi Romly
muda kerap mondok tabarukan untuk mendapatkan ilmu dan keberkahan dari para
kiai dan ulama. Di antaranya di Ploso Mojo Kediri di bawah pengasuhan KH.
Djazuli Usman, allahu yarham.
Pendidikan tingkat
atas diselesaikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya, jurusan
Syariah hingga mendapat gelar Bachelor of Art (BA), lulus pada tahun 1966.
Kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum dan
mendapat gelar Sarjana Hukum (SH). Sambil menyelesaikan kuliahnya, beliau juga
mengabdi di Pondok Pesantren Darul Ulum sebagai guru di Pendidikan Guru Agama
(PGA) menjadi Kepala Sekolah SMA Darul Ulum dan kemudian sebagai Kepala Sekolah
PGAN 6 Tahun Rejoso. Kemudian dia diangkat menjadi Pegawai Negeri pada tanggal
1 Oktober 1967, dan menjadi dosen di IAIN Surabaya sejak tahun 1979.
KH. Dimyathi Romly
melangsungkan akad nikah dengan Nyai Muflichah pada 12 Februari 1972. Nyai
Muflichah adalah putri pertama dari dari KH. Marzuqi Zahid dan Nyai Hj. Halimah
Zaini dari pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban. Resepsi pernikahan
dilangsungkan di Langitan pada tanggal 19 Agustus 1972, kemudian yang kedua di
Rejoso pada tanggal 26 Agustus 1972 di rumah Nyai Romly, dan esoknya di kediaman
KH. Musta’in Romly. Dari perkawinannya dikaruniai 8 anak yaitu: Ahmad
Syihabuddin, Imelda Fajriati, Soraya, Muhammad Afifuddin, Muhammad Izzulhaq,
Fara Habibah, Muhammad Mustain Dzul Azmi dan Ahmad Muharram.
Pernikahan KH.
Dimyathi dan Nyai Muflichah meskipun menyatukan dua karakter yang berbeda,
sesungguhnya juga ada persamaanya, sama-sama sangat peduli dengan pendidikan.
Mereka memahami, bahwa di antara cara untuk membangun peradaban mulia adalah
melalui pendidikan yang baik. Keduanya adalah pengajar yang menjadi dosen dan
guru. Mereka adalah pasangan pendidik, pembina dan pengasuh Asrama Al Husna di
Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang.
Karakter KH.
Dimyathi Romly
Ada sebuah hadits
Nabi yang mengingatkan pada KH. Dimyathi
Romly. Semoga beliau termasuk kedalam
mereka yang diceritakan Nabi di bawah ini.
“Maukah kalian aku
tunjukkan orang yang haram (tersentuh api) neraka? Para sahabat berkata, “Iya,
wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “(Haram tersentuh api neraka) orang yang
Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl” (Sahih Ibn Hibban)
Ciri yang pertama
adalah hayyin, yaitu mereka yang memiliki keteduhan dan ketenangan lahir dan
batin. KH. Dimyathi adalah ulama pembawa kedamaian. Beliau tidak mudah marah,
tidak mudah tersulut berita yang sampai padanya. Beliau adalah pribadi yang
nriman dan semeleh, menerima semua yang datang dari langit, rida dengan semua
yang digariskan Allah. Karena sikap inilah, beliau seolah tak mengenal masalah
atau dirundung duka, sehingga tak pernah terdengar keluh kesah darinya.
Kedua, Layyin,
ialah orang yang pembawaannya lembut dan kalem, baik dalam perkataan dan
perbuatan. Tutur kata KH. Dimyathi lembut, teratur dan mudah dipahami, sehingga
pidato beliau seringkali ditunggu oleh para santri dan murid-muridnya. Lelaku
beliau juga kalem, bahkan terkesan santai. Siapa saja yang melihatnya akan
turun tingkat beban hidupnya. KH. Dimyathi sangat toleran dan tidak pernah
memaksakan kehendaknya, baginya semua adalah apik (baik) selama bersumber pada
kebaikan Ilahi.
Ketiga, qarib,
yaitu orang yang supel, akrab dan ramah. Selalu menyenangkan orang yang diajak
bicara. Ini adalah gambaran KH. Dimyathi yang sesungguhnya, sudah menjadi
karakternya sejak kecil, beliau adalah sosok yang humoris, pembawaannya selalu
riang dan gembira. Suasana yang sebelumnya kaku, akan cair ketiks beliau tiba.
Kehadirannya biasanya akan menularkan virus-virus suka cita, menjadi penawar
kesedihan, obat duka lara. “Siapa yang suka menyenangkan orang lain, maka Allah
akan menyenangkan hidupnya” begitu di antara prinsip hidupnya.
Di balik gaya
santainya, beliau adalah seorang yang penuh perhatian, tidak cuek dan acuh.
Beliau selalu memperlihatkan wajah yang berseri dan enak dipandang, karena
senyuman selalu menghiasi wajahnya. Itulah senyuman yang karib, pengundang
keakraban. Siapa saja akan merasa senang bergaul dengan beliau, dari anak kecil
hingga usia lanjut. Beliau seorang yang egaliter, bergaul dengan semua
kalangan, dan tidak mengambil jarak dengan siapapun, hal ini menyebabkan beliau
dcintai jamaah dan masyarakatnya.
Keempat, sahl,
yaitu orang yang baik hati dan memudahkan segala urusan. KH. Dimyathi tidak
pernah mempersulit keadaan, semua dibuat mudah dan ringan. Selalu ada solusi
bagi setiap permasalahan. Karenanya beliau seringkali menjadi tempat pengaduan
masalah orang-orang di sekitarnya, dan beliau akan menawarkan solusi yang
membuat siapapun merasa ringan.
KH. Dimyathi
adalah pejuang pendidikan, selama menjadi guru, beliau senantiasa menjembatani
kegiatan murid-muridnya. Selalu mendukung apa-apa yang diperlukan untuk
mengembangkan potensi anak didik dan untuk memajukan pendidikan. Rumahnya bisa
disebut basecamp bagi anak-anak didiknya. Beliau selalu berusaha menyediakan
diri dan apa yang dimiliki untuk kelancaran dan kemudahan urusan orang lain,
tanpa beban dan pikir panjang lagi. Sebagaimana prinsipnya, siapa yang
memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya.
KH. Dimyathi juga
sangat peduli pada masalah literasi, beliau suka membaca, menulis dan menyukai
sastra. Minatnya pada literasi ini membuatnya menjadi guru sastra di SMA Darul
Ulum dan menjadi Kepala Perpustakaan UNDAR. Kemudian pada tahun 1986 beliau
menjadi Pembantu Rektor III Bagian Kemahasiswaan dan menjadi Dekan Fakultas
Ushuluddin UNDAR pada tahun 1993. Selain itu juga menjadi dosen di Fakultas
Hukum UNDAR Jombang dan dosen di Fakultas Syariah IAIN Surabaya dari tahun 1979
sampai pensiun di tahun 2000.
Karena kepedulian
beliau di dunia pendidikan ini, sejak tahun 1985 KH. Dimyathi Romly mendapat
amanah di Majelis Pimpinan Pondok (MPP) Darul Ulum sebagai Koordinator Bidang
Pendidikan. Amanah ini berlanjut hingga beliau menjadi Pemimpin Pondok
Pesantren Darul Ulum, menggantikan KH. As’ad Umar yang meninggal dunia pada 5
Desember 2010.
Keseharian KH.
Dimyathi sebagai pengasuh di Pondok Darul Ulum adalah menjadi imam jamaah
shubuh di Masjid Induk Darul Ulum. Kemudian dilanjutkan memimpin bacaan dzikir
istighatsah bersama santri Darul Ulum. Selain itu hal yang rutin beliau lakukan
adalah ziarah ke pesarean para wali, leluhur dan pendiri pondok.
KH. Dimyathi
paling gemar mengunjungi para ulama dan kiai untuk mendapatkan doa dan
keberkahan. Penghormatannya kepada para ulama dan orang yang berilmu sangat
luar biasa. Beliau sering menceritakan kepada anak-anak dan santrinya tentang
profil kiai-kiai yang menjadi rujukan masyarakat. Beliau sering mengajak
anak-anaknya sowan ke kiai dan ulama, untuk bisa dekat dan ngalap berkah dari
para ulama. Begitu pun kalau ada ulama atau kiai besar berkunjung ke rumah,
Beliau biasanya menyuruh anak-anaknya untuk meminum minuman kiai tersebut,
menurutnya hal seperti ini biasa dilakukan KH. Romly kepada beliau saat kecil
dulu.
Tak hanya
menghormati dan mencintai mereka yang berilmu atau ulama, beliau juga sangat
mencintai semua santri, para penuntut ilmu. Perhatiannya kepada mereka
ditunjukkan dengan sering berbagi hadiah dan motivasi untuk terus semangat
menuntut ilmu terutama bagi santri yang berada dalam perantauan. Doanya selalu
terpanjatkan untuk santri Darul Ulum, “Tak dongakno santri Njoso ilmune barokah
lan manfaat, opo iku manfaat? neng ndi-ndi dibutuhno wong, neng ndi-ndi
disenengi wong, (Aku doakan santri Njoso ilmunya berkah dan manfaat, di
mana-mana dibutuhkan orang, di mana-mana disenangi orang). Sebuah doa yang
sangat indah dan sarat makna. Pertama, beliau mendoakan keberkahan ilmu bukan
mendoakan agar para santri menjadi orang terkenal, pintar ataupun sukses.
Karena kesuksesan seseorang hanya terjadi bila ia mampu memberi manfaat, dan
itulah keberkahan. Kedua, doa agar para santri dibutuhkan dan dicintai orang,
ini adalah salah satu pertanda dari ilmu yang berkah, dibutuhkan dan dicintai
semua orang.
Nasehatnya selalu
bagi siapa saja yang hidup (tinggal) di pondok adalah “Jangan mencari hidup
dari pondok, tapi tolong hidupkan pondok, maka hidupmu akan berkah.” Nasehat
ini mengajarkan keikhlasan yang sebenarnya, dan berusaha menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi umat, karena itulah sabaik-baik manusia.
Tarekat Jalan
Utama
Dalam perjalanan
hidup KH. Dimyathi, ada jalan utama yang menjadi pilihan takdirnya, yaitu jalan
tarekat. Inilah perjalanan hidup beliau yang istimewa. Sebuah jalan takdir yang
sama sekali tidak disangka dan dibayangkan sebelumnya. Inilah amanah besar yang
tiba-tiba turun dari langit menimpanya dengan serta merta.
Semua dimulai
ketika KH. Rifa’i Romly, al-Mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah saat
itu, yang sekaligus kakak tertuanya berpulang pada tanggal 12 Desember 1994.
Musyawarah Majelis Pimpinan Pondok Darul Ulum yang diketuai oleh KH. As’ad Umar
(1933–2010) menghasilkan keputusan bahwa KH. Dimyathi Romly yang menggantikan
KH. Rifa’i Romly sebagai Mursyid Tarekat.
Izinkan penulis
menyampaikan apakah Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah itu. Tarekat Qadiriyah
wan Naqsabandiyah (TQN) didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas. Beliau
tinggal di Mekah, mendapatkan baiat Qadiriyah dari Syekh Samsudin dan baiat
Naqsabandiyah dari Syekh Sulaiman Zuhdi. Kemudian kedua Tarekat ini digabungkan
menjadi satu. Di Tanah Suci, Syekh Ahmad Khatib memiliki tiga khalifah yaitu
Syekh Abdul Karim (Banten), Syekh Tolhah (Cirebon), dan Syekh Ahmad Hasbullah
(Madura).
Sepeninggal Syekh
Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Karim diangkat menjadi mursyid Tarekat.
Setelah kepemimpinan Syekh Abdul Karim, TQN mulai berkembang dan kempemimpinan
tidak lagi tunggal. Syekh Abdul Karim digantikan oleh Syekh Asnawi Caringin
yang kemudian membaiat Kiai Muslih Abdurahman (Mranggen Demak) sebagai mursyid
TQN. Demikian pula, Syekh Tolhah membaiat muridnya Abdullah Mubarok (Abah
Sepuh) sebagai mursyid TQN di Suryalaya, Tasikmalaya. Demikian juga Syekh Ahmad
Hasbullah membaiat Syeikh Cholil Juremi sebagai muryid TQN yang berpusat di
Rejoso, Peterongan, Jombang. Dengan demikian setelah kepemimpinan Syekh Abdul
Karim, ada tiga pusat TQN terbesar di Indonesia.
Setelah Kiai
Cholil Juremi meninggal dunia, tampuk kepemimpinan TQN di Rejoso diserahkan
kepada adik iparnya, KH. Romly Tamim. KH. Romly Tamim adalah guru sufi yang
sangat berpengaruh di Indonesia. Beliaulah yang menulis zikir istighatsah yang
terkenal bagi kalangan Nahdliyin. Setelah KH. Romly Tamim wafat, kepemimpinan TQN
digantikan oleh KH. Musta’in Romly. Setelah wafatnya Kiai Musta’in, beliau
digantikan oleh KH. Rifa’i Romly. Singkat cerita, inilah kisah sampai KH.
Dimyathi Romly menjadi mursyid TQN sepeninggal KH. Rifa’i Romly.
Mengikuti cerita
di atas tentang apa itu tarekat dan asal-usulnya, jelaslah bahwa ini adalah
urusan yang besar. Lalu dapatkah dibayangkan? Beliau yang masa mudanya penuh
dengan keisengan dan kenakalan, suka bercanda, santai dan terkesan slenge’an,
tiba-tiba mendapat amanah yang benar-benar serius. Beliau yang suka dan dekat
dengan anak-kecil ini harus menghadapi jemaah tarekat yang kebanyakan sudah
sepuh.
Menjadi seorang
mursyid, artinya menjadi seorang penunjuk jalan (tarekat). Tentunya penunjuk
jalan adalah orang-orang yang sangat paham dan telah mengenal jalan dengan
baik, yang akan membimbing dan menunjukkan jalan lurus menuju Allah. Mungkin
banyak yang menyangsikan, namun ini bagian dari cara Allah memilih hamba-Nya.
Akhirnya KH. Dimyathi Romly dibaiat menjadi Mursyid Tarekat pada tanggal 30
Desember 1995.
Seiring
berjalannya waktu, beliau berusaha menjalankan perannya sebagai mursyid ini
dengan sebaik-baiknya. Mengikuti jejak buyanya KH. Romly Tamim dan sebagaimana
yang dicontohkan dua kakaknya yang menjadi Mursyid sebelumnya, KH. Musta’in
Romly dan KH. Rifa’i Romly. KH. Dimyathi Romly memperkuat jaringan TQN Rejoso,
dengan membentuk Ikatan Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah (ITQON) yang
berpusat di Pesantren Darul Ulum Rejoso.
Inilah tarekat,
jalan utama KH. Dimyathi Romly dari perjalanan hidupnya di dunia. Kegiatan
rutin tarekat biasa disebut dengan istilah Kemisan, yaitu pengajian pekanan
setiap kamis di Darul Ulum. Maka saat itu ratusan tamu dan jemaah tarekat akan
berdatangan dari berbagai daerah di sekitar Jombang seperti Nganjuk, Kediri,
Madiun, Mojokerto dan lainnya. Beliau juga banyak menerima undangan pengajian
tarekat di daerah yang cukup jauh, seperti Purwokerto, Purworejo, Riau, Jambi,
Pekan Baru, Lampung, Palangkaraya, Pangkalan Bun, Tarakan, Bima NTB, dan
lain-lain. Selain itu, ada tiga acara tahunan, yaitu Suwelasan pada 11 Muharram
dan 11 Rabiul Akhir serta acara Syakbanan yang diadakan setiap nisfu Syakban.
Pada ketiga acara ini, ribuan jemaah tarekat dari penjuru nusantara berdatangan
untuk mengikuti pengajian akbar. Sebuah agenda tahunan yang selalu
ditunggu-tunggu oleh para jemaah tarekat dan juga para santri Darul Ulum.
Ketika menjadi
mursyid ini beliau juga sempat menjadi politisi. Pada tahun 1997–1999 Anggota
DPRD tingkat I Jawa Timur dari Golkar, dan dilanjut perode berikutnya tahun
1999–2004. Menarik untuk mengulas hal ini, bagaimana KH. Dimyathi mampu
memadukan aktivitas akademisi, kepesantrenan, tarekat, dan aktivitas politik.
Aktivitas yang seakan berlawanan itu tak banyak ditemukan. Kecenderungan
seseorang adalah memisahkan aktivitas-aktivitas tasawuf dengan kehidupan
syariat, apalagi dengan kehidupan politik. Namun beliau tetap mampu menjalankan
aktifitas ini dengan sebaik-baiknya.
KH. Dimyathi Romly
selalu mendahulukan kegiatan tarekat dibanding kegiatan yang lain. Beliau akan
mengutamakan undangan tarekat dibanding undangan yang lain. Baginya, tarekat
adalah janji yang harus ditunaikan melanjutkan amanah Buyanya. Tarekat adalah
jalan utamanya, yang dengan sendirinya telah dipilihkan Allah untuknya. Takdir
yang telah digariskan Allah untuk melihat sejauh mana dirinya mampu mengemban
dan mempertanggungjawabkan amanah usianya di muka bumi.
KH. Dimyathi Romly
setia menjalankan amanah yang diembannya hingga akhir hayat, yaitu sebagai al
Mursyid TQN (1995-2016), Ketua Umum MPP Darul Ulum (2010-2016), Rais Syuriah
PBNU (2015-2016) dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang.
KH. Dimyathi
kembali kepada Zat Yang Maha Lembut pada 18 Mei 2016 atau 11 Syakban 1437 H.
Ribuan jemaah mengantarkan KH. Dimyathi Romly pada peristirahatan terakhirnya.
Almarhum dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Asrama Hidayatul Qur’an Darul
Ulum. Bacaan tahlil dan shalawat menggema, melangitkan doa dan pengharapan.
Semoga Allah menempatkan KH. Dimyathi Romly pada tempat yang mulia di sisi-Nya,
dan kita yang ditinggalkan mampu melanjutkan perjuangannya. Aamiin.
Referensi: https://ulamanusantaracenter.com/k-h-dimyathi-romly-tamim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar