Pemilu pertama
sepanjang rezim Orde Baru berkuasa berlangsung pada 1971. Golkar menang telak
atas sejumlah saingannya dengan raihan suara lebih dari 60 persen. NU berada di
posisi kedua di kisaran 20 persen, disusul Parmusi (Persaudaraan Muslimin
Indonesia) sekitar 9 sembilan. Dan sisanya diraih partai-partai gurem.
Golkar sebagai
kendaraan penguasa otoriter rupanya belum puas dengan kemenangan dan segala
kelebihannya. Mereka mulai mendekati komunitas muslim, salah satunya kalangan
tarekat yang berafiliasi dengan NU yang dianggap mempunyai pengikut yang banyak
dan taat.
Martin van
Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (2008)
mencatat, salah seorang guru tarekat yang bersedia bekerja sama dengan Golkar
pada saat itu adalah Kiai Musta’in Romli dari Rejoso, Jombang.
Sejak 1957
Musta'in menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin pesantren dan jaringan
tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang menyebar di seluruh Jawa Timur.
“Para pengikutnya
terdiri dari puluhan ribu orang desa, yang tergabung dalam ratusan kelompok
lokal yang secara teratur berkumpul untuk menjalankan amalan spiritual di bawah
pimpinan seorang badal (wakil) Kiai Musta'in, dan kadang kala juga dikunjungi
oleh Kiai Musta'in sendiri atau salah seorang khalifahnya,” terang van
Bruinessen.
Kedekatan Musta’in
dengan elite Orde Baru pada akhirnya membuat ia bergabung dengan Golkar pada
1973. Sikapnya ini kemudian menimbulkan perpecahan dalam federasi jamaah
tarekat yang berafiliasi dengan NU, yakni Jam’iyah Ahl ath-Thariqah
al-Mu’tabarah.
Meski demikian, NU
belum segera mengambil sikap. Pada 1975, saat jamiah ini mengadakan kongres di
Madiun, yang dihadiri banyak guru tarekat berpengaruh di Jawa Timur dan Jawa
Tengah, Mustain terpilih sebagai ketua.
Jelang pemilu
1977, terang Bruinessen, saat sejumlah partai politik berfusi ke dalam PPP dan
PDI, dan NU melebur ke dalam PPP, Musta’in mulai ditindak. Ia yang waktu itu
aktif berkampanye untuk Golkar dianggap mengkhianati NU yang berafiliasi dengan
PPP.
“Ini berarti bahwa
dia, sebagai ketua organisasi yang berafiliasi ke NU, berkampanye melawan PPP,
partai yang didukung NU. Dalam pandangan sebagian aktivis PPP, tindakan ini
adalah pengkhianatan dan diputuskan menghukum Kiai Mustain,” tulisnya.
Setelah kasus
tersebut, tulis Ahmad Syafi’i Mufid dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat:
Kebangkitan Agama di Jawa (2006), Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah
terpecah menjadi dua. Pertama dipimpin Musta’in dengan memakai nama asli, dan
satu lagi dipimpin K.H. Idham Chalid dan K.H. Arwani dengan menambah nama An
Nahdliyah setelah frasa Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah.
Pengukuhan
Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah yang dipimpin Idham Chalid
dan Arwani dilakukan pada saat Muktamar NU ke-26 tahun 1979 yang digelar di
Semarang, lewat surat keputusan PB Syuriyah NU nomor 137/Syur. PB/V/1980.
Ahmad Syafi’i
Mufid menambahkan, organisasi tarekat yang menginduk ke NU pada perjalanannya
lebih populer dibandingkan dengan tarekat yang dipimpin Musta’in yang mendukung
Golkar.
Peristiwa
perpecahan ini, imbuh Ahmad Syafi’i Mufid, sempat menimbulkan kekhawatiran di
kalangan mursyid tarekat sehingga ragu akan kepemimpinan Idham Chalid. Mereka
takut dibawa kembali ke tujuan politik.
“Hal ini terlihat
pada pernyataan seorang utusan Muktamar Jam’iyah Tharekat Al Mu’tabarah An
Nahdliyah ke-7 di Mranggen, 21-24 November 1989: ‘Barangkali pada muktamar ini
Dr. Idham Khalid akan berusaha untuk menyatukan kedua organisasi tarekat
mu’tabarah untuk mencapai tujuan politik tertentu’,” tulisnya.
Kampanye
Ugal-ugalan
Politisasi agama
yang paling brutal di tubuh NU terjadi pada saat organisasi ini melepaskan diri
dari Masyumi pada 1952. Sebagai partai politik baru, tulis Greg Fealy dalam
Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2009), NU pada mulanya kewalahan
sebab banyak kadernya yang memilih tetap bertahan di Masyumi.
Selanjutnya kedua
partai politik yang sempat bersatu ini bertarung memperebutkan konstituen.
Untuk meraih simpati, mereka saling mengirimkan sejumlah warta berkala dan
delegasi ke sejumlah organisasi Islam.
“Ajakan-ajakan
berbau sentimen keagamaan dan konsep tradisional tentang kekuasaan merupakan
menu utama kampanye NU,” tulisnya.
Sebagai saingan,
imbuh Greg Fealy, NU menggambarkan Masyumi sebagai partai yang tidak
menghormati wewenang ulama dan tidak serius mengamankan nilai-nilai dan
kepentingan Ahlussunnah wal Ja’maah. Artinya, NU memosisikan diri sebagai
partai yang menegakkan tradisi dan prinsip Islam tersebut.
Untuk mendukung
propagandanya, NU mengandalkan dukungan kiai-kiai yang berada di basis
konstituen yang mereka bidik. Di tempat yang kiainya memihak NU, keanggotaan
dan aktivitas cabang meningkat pesat. Namun, di wilayah yang kiainya tetap
mendukung Masyumi, NU terseok-seok.
Bersaing dengan
sejumlah partai Islam, NU melancarkan strategi yang menghunjam posisi
lawan-lawannya. Dalam catatan Greg Fealy, strategi itu adalah memosisikan NU
sebagai partai Islam yang mengusung Ahlussunnah wal Jama’ah. Kaum tradisionalis
yang cenderung mengklaim sebagai golongan ini tentu tertarik dengan NU.
K.H. Wahab
Hasbullah, seperti dikutip Greg Fealy dari sebuah media bertitimangsa 17
Februari 1955, menyampaikan strategi tersebut saat berbicara dalam suatu rapat.
“Di antara partai2
jang berideologi Islam, seperti NU, Masjumi, PSII, Perti, dan PPTI, NU
berdjuang atas dasar achlusunnah wal djamaah, sedang Partai2 Islam atau
Nasional lainnja adalah partai2 jang tidak bermadzhab,” ucapnya.
Sejarah Politisasi
Agama ala Nahdlatul Ulama
Hal ini, imbuhnya
mengutip Duta Masjarakat edisi 27 September 1955, karena para juru kampanye
menekankan bahwa mencoblos gambar NU berarti telah menjalankan amal saleh
sebagai bukti ikut berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah).
“NU juga
menyerukan kepada para pemilih agar menggunakan hak suara mereka dalam pemilu
karena itu merupakan kewajiban agama, meskipun pemungutan suara sebenarnya
bersifat sukarela. Mereka mengingatkan kaum muslimin bahwa mendukung partai
yang bertentangan dengan Islam merupakan dosa. Beberapa kali bahkan mewajibkan
santrinya memilih NU,” terangnya.
Ia menambahkan,
pelbagai kegiatan keagamaan pun tak luput dari kampanye. Upacara perkimpoian,
pemakaman, pengajian, dan yasinan dijadikan tempat untuk mendorong jamaah agar
mendukung NU. Selanjutnya kampanye untuk menjaring simpati konstituen semakin
ugal-ugalan. Greg Fealy menyebutnya: “beberapa pemimpin NU bahkan ada yang
melangkah terlalu jauh”.
Menurutnya,
langkah terlalu jauh itu salah satunya adalah mendesak kaum tradisionalis untuk
memboikot upacara keagamaan yang diadakan kaum modernis “seperti upacara
perkimpoian dan pemakaman, serta menolak melakukan salat jenazah bagi anggota
Masyumi yang meninggal.”
Acara keagamaan
yang memang rutin dilakukan NU selama masa kampanye itu tiba-tiba menjadi
tunggangan kepentingan politik.
REFERENSI:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar