Biografi
Singkat
Dr.
KH. M. Afifudin Dimyathi., L.c., M.A atau yang kerap disapa dengan panggilan
Gus Awis lahir pada 7 Mei 1979 di Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra
dari pasangan KH. A. Dimyathi Romly dan Hj. Muflichah.
Nasabnya
dari jalur ayah, Gus Awis adalah putra KH. Dimyati bin KH. Romli At-Tamimi. KH.
Romli At-Tamim adalah seorang Mursyid (Guru) Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah, yang jalur kememursyidannya sampai ke Sulton Auliya’ Syaikh
Abdul Qodir Al-Jailani hingga Nabi Muhammad Saw.
Sementara
dari jalur ibu, Gus Awis merupakan cucu dari KH. Ahmad Marzuki Zahid Langitan
yang nasabnya sampai ke Sunan Bonang, Tuban.
PENDIDIKAN
Gus
Awis muda memulai pendidikannya dengan belajar di Madrasah Ibtida’iyah Negeri
Rejoso Jombang (lulus tahun 1991). Kemudian melanjutkan pendidikannya dengan
sekolah di Madrasah Tsanawiyah Progam Khusus Darul ‘Ulum Rejoso Peterongan
(lulus tahun 1994), lalu melanjutkan dengan sekolah di Madrasah Aliyah
Keagamaan Negeri (MAKN) Jember (lulus tahun 1997).
Selain
menempuh pendidikan formal, beliau juga belajar dan menghafal Al-Qur’an di
Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh
KH. Mufid Mas’ud sampai tahun 1998.
Setelah
lulus dari MAKN, beliau meneruskan Pendidikan S-1 di al Azhar University Mesir,
pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an mulai tahun
1998-2002
Pada
tahun 2002 beliau melanjutkan pendidikan S2 di Khartoum International Institute
for Arabic Language di kota Khartoum Sudan dan Lulus tahun 2004 dengan predikat
Cum Laude. Berbekal prestasi lulusan S2 terbaik tingkat Asia, pada tahun yang
sama beliau meneruskan pendidikan S3 di al Neelain University jurusan Tarbiyah
Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa Arab dan selesai tahun
2007.
Selain
itu, sejak tahun 2006 beliau sudah aktif sebagai dosen di Prodi Pendidikan
Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya dengan
mengampu mata kuliah kebahasaan dan tafsir.
Mulai
tahun 2007 setelah menyalesaikan program S3, beliau juga turut mengajar di
Program Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel dan UIN Maulana Malik Ibrahim dengan
mengampu mata kuliah spesialisasi Linguistik, Sosio-Linguistik, Semantik dan
Leksikologi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab dan Pengembangan Materi Ajar
Bahasa Arab.
Beliau
juga ikut Berpartisipasi sebagai pengajar di Program Pasca Sarjana di IAIN
Tuluangung, IAIN Jember dan STIT Dalwa Bangil Pasuruan dengan materi bidang
kebahasan dan tafsir.
PENGASUH
PONDOK
Setelah
selesai belajar, Gus Awis melanjutkan kepemimpinan pesantren dengan menjadi
pengasuh Asrama Hidayatul Quran di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso.
PENULIS
KITAB BAHASA ARAB
Pada
beberapa kesempatan Gus Awis menyampaikan, bahwa motivasi terbesarnya dalam
menulis adalah perjuangan para ulama terdahulu dalam mengabadikan ilmu.
Sebuah
ilmu adalah amanah yang harus disampaikan kepada umat dan salah satu caranya
adalah dengan menulis. Sebagai penulis yang produktif, beliau mengatakan bahwa
ide adalah sebuah amanah dari Allah. Maka dari itu setiap mendapat ide tulisan,
beliau akan mencatatnya dan berniat untuk menuangkan ide-ide tersebut dalam
bentuk kitab.
Beliau
menganggap bahwa hal ini adalah bukti bahwa setiap buku ada pembacanya, setiap
buku pasti ada pencarinya.
Dua
bukunya yang fenomenal adalah Asy-Syamil fi Balaghatil Quran dan Jam’u al-‘Abir
fi Kutub al-Tafsir, karya ini dibaca oleh Mahasiswa yang sedang belajar di
Al-Azhar Mesir.
Buku
Asy-Syamil membahas nilai kesusastraan al-Quran lengkap mulai dari al-Fatihah
hingga an-Annas, dan mengungkapkan beberapa faktor yang membuat al-Quran lebih
istimewa dibanding kitab suci lainnya. Faktor-faktor tersebut, terangkum dalam
uslub balaghah di kitab tiga jilid yang ia tulis.
Pertama,
isti’aro yang berarti keserasian makna. Al-Quran jika diperhatikan menggunakan
pemilihan kata yang unik sehingga berbeda dengan bahasa buku atau kitab suci
lain. kedua, tartib yakni ketertiban urutan kalimat yang disusun dalam
al-Quran. Susunan yang rinci dan rapi ini membuat ayat al Quran mudah dicerna.
Dan yang ketiga yang ia sebutkan ialah i’jaz yang berhubungan dengan pemaknaan.
Dalam
al Quran, walau lafaznya singkat, pemaknaannya bisa sangat luas. Tentu masih
banyak uslub balaghah lainnya. Untuk mendapatkan makna al-Quran baik tersirat
mauput tersurat, tidak bisa tidak, maka pintu masuk pemahaman awalnya
diantaranya adalah dengan membaca kandungan balaghanya, dan buku ini dengan
amat rinci menjelaskannya kata perkata, kalimat perkalimat dan ayat perayat.
Sementara
kitab Jam’ul Abir fi Kutubit Tafsir menjelaskan metode penulisan lebih dari 440
kitab tafsir sepanjang sejarah Islam, secara berurutan mulai mufassir zaman
sahabat sampai mufassir abad 15 hijriah.
Kitab
ini juga mengkaji sejumlah kitab tafsir berbagai aliran yakni Ahlussunnah,
Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, bahkan sufi dan batiniyah. Dalam Jam’ul Abir,
kitab-kitab tafsir dunia juga diurutkan sesuai tahun meninggalnya mufassir.
Ini
sangat membantu dalam rangka mengetahui perkembangan studi tafsir sepanjang
sejarah Islam.
Dari
440 kitab tafsir yang dibahas, sebagian besar mengenalkan tafsir-tafsir karya
ulama Nusantara, dan Asia Tenggara ke dunia Islam.
Tentu
saja ini sangat menarik, karena dengan mambaca karya ini, harapannya agar
pakar-pakar tafsir di Timur Tengah kontemporer setelah membaca kitab ini bisa
mengenal Syekh Abdur Rauf as Sinkili, Kiai Shalih Darat, Mbah Kiai Bisri
Musthofa, Mbah Kiai Misbah Musthofa, Syekh Muhammad Said bin Umar al Malaysia,
KH Ahmad Sanusi, Syekh Ahmad Shonhaji as-Singapuri dan nama lain, serta
mengetahui tafsir yang mereka persembahkan untuk umat Islam di Asia Tenggara.
Kelebihan
lain ini juga menampilkan berbagai kitab tafsir dari berbagai bahasa di dunia.
Dari mulai Arab, Inggris, Prancis, Urdu, Parsi, Melayu, Indonesia, Jawa, Sunda
dan sebagainya.
Dengan
karyanya yang begitu banyak, bahkan dicetak di Mesir, negeri yang dikenal
dengan menara ilmu islam dan digunakan di almameternya, termasuk di Al-Azhar
dan Universitas Khartoum, Sudan, maka beliau layak dianggap penerus ulama
Nusantara di Hijaz (Jazirah Arab).
KARYA-KARYA
Tradisi
menulis dalam bahasa Arab tidak berakhir sampai awal abad ke-20, atau era
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, namun terus berlanjut, tetapi dari
segi kuantitasnya amat sedikit.
Karena
belakangan, pengaruh dari kalangan ulama modernis atau reformis begitu masif,
sehingga kiai-kiai lebih senang menulis dalam bahasa Indonesia, dan sebagian
masih mempertahanknya dengan menggunakan Arab pegon, dan yang sedikit itu
antara lain adalah Gus Awis. Beliau merupakan sosok yang termasuk masih
mempertahankan tradisi ulama Nusantara, menulis dengan bahasa Arab di era
melenial ini. Karya yang pernah ditulis diantaranya:
1. Muhadarah
fi Ilm Lughah al Ijtima’i (Dar Ulum al Lughawiyah, Surabaya, 2010)
2. Sosiolinguistik
(UINSA Press, 2013)
3. Mawarid
al Bayan fi Ulum al Qur’an (Lisan Arabi, 2014)
4. Safa
al Lisaan fi I’rab al Qur’an (Lisan Arabi, 2015)
5. al-Syamil
fi Balaghat al-Quran (3 jilid, 2019)
6. Irsyad
al-Darisin ila Ijma’ al-Mufassirin, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluh wa Manahijuhu
(Lisan Arabi, 2019)
7. Jam’u
al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid, Lisan Arabi, 2019)
8. Dan masih banyak lagi
Selain
diterbitan oleh Lisanul Arabi di Indonesia, buku-buku tersebut juga diterbitkan
di Mesir oleh Penerbit Daar As-Saalih dan Darun Nibros, serta beberapa artikel
di jurnal-jurnal berbahasa Arab di Indonesia, diantaranya Jurnal el Jadid dan
Jurnal LINGUA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar